Hari Yang Kuingat
Tuuuttt……tuuuutt….tuuuuttt…..
Bunyi itulah yang
selalu gue dengar dan selalu berakhir dengan kalimat yang diucapkan oleh
mbak-mbak operator “nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.” Udah lima kali
gue nyoba hubungin dia, gue terus coba lagi, lagi, dan lagi, hasilnya tetep
sama. Dia kemana? Ada apa? Nggak biasanya telepon gue nggak dijawab kayak gini.
Oh iya, nama gue Feri, untuk
mempermudah penjabaran tentang gue, lo bayangin aja pemeran Harry Potter. Udah
? yak, gue itu nggak mirip sama dia. Dengan segala ketampanan, dan para
fans-fans dia. Gue cuma seorang cowok biasa, sederhana yang baik dan bersahaja.
Dan yang gue coba hubungin ini Nadya, pacar gue. Udah nggak perlu gue jelasin
juga pacar gue ini gimana, karena kalian sendiri juga pasti tahu jika orang
yang sedang jatuh cinta pasti akan menganggap pasangannya adalah yang terbaik.
Dan itu juga anggapan gue ke Nadya, dia yang terbaik.
Hubungan kita berlangsung
baru sekitar 11 bulan, dan minggu depan adalah tepat satu tahun gue jadian
dengan dia. Dengan waktu yang nggak bisa dibilang sebentar itu, gue jelas udah
tahu gimana sifat dia, gue tahu apa yang
dia suka dan apa yang enggak, gue hampir tahu segalanya tentang dia, dan selama
itu juga gue selalu nyoba jadi yang terbaik buat dia.
Hari ini rencananya
kita mau jalan, entah kemana, pokoknya jalan aja, toh yang penting buat gue
bisa ketemu dan ngabisin waktu sama dia. Tapi seperti yang kalian tahu, gue
udah hubungi dia berkali-kali tapi tetep nggak ada jawaban, sms pun nggak
dibales, apa dia lupa kalau hari ini kita ada janji, atau dia lupa sama gue?
Kenapa gue jadi parno sendiri gini sih.
Setelah beberapa kali
coba lagi, akhirnya gue nyerah, gue tunggu aja kabar dari dia sambil nonton
film kegemaran gue di Minggu pagi, Doraemon. Tiga puluh menit berlalu, film
Doraemon udah selesai, gue lihat ponsel gue, masih nihil. 1 jam, 2 jam, dan
akhirnya semua film anak-anak udah pada bubar dan tetep, nggak ada kabar dari
dia. Dan sekarang ditambah makin banyak pikiran buruk yang tiba-tiba masuk ke
otak gue, gimana kalau dia kenapa-kenapa? Gimana kalau dia jalan ke warung
terus diculik orang? Gimana kalau dia sekarang lagi sakit dan nggak bisa
ngapa-ngapain? Gimana kalo dia tiba-tiba loncat ke jurang tanpa sebab? Gimana
kalo, ah stop, cukup dengan gimana-gimananya. Lo pikir gue berlebihan? Ya, gue
juga mikir demikian. Kayaknya gue terlalu banyak nonton sinetron bareng emak
gue.
Tiba-tiba gue inget
sama suatu kalimat, “apa yang kamu pikirkan, kadang itulah yang menjadi
kenyataan.” Berbekal kalimat itu menjadi motivasi gue, gue nyoba mengalihkan
pikiran gue hingga mendapat satu pikiran terbaik, “Mungkin dia pengen
ngehubungi gue, tapi dia nggak punya pulsa dan kebetulan hari ini adalah hari
internasional penjual pulsa, jadi semua penjual pulsa di seluruh dunia tidak
bekerja pada hari ini”. Ya, itulah pikiran terbaik gue, untuk sesaat gue
tenang. Dan kemudian masuklah sebuah pikiran baru, terus kenapa telepon gue
nggak diangkat? Dan apa cuma gue disini yang tahu kalo ada hari libur
internasional buat penjual pulsa?
Otak sialan! Kenapa
selalu punya pikiran yang bikin gue nggak berhenti parno! Gue sendiri juga
nggak tahu kenap gue bisa kayak gini, apa karena gue terlalu cinta? Atau gue
takut kehilangan dia? Atau karena nggak ada cewek lain yang mau sama gue selain
dia? Ah entahlah, dan akhirnya hari itu berlalu dengan gue diem kayak orang
bego yang terus ngeliatin ponsel berharap ada sebuah sms yang masuk selain sms
dari operator atau sms yang ngasih tahu kalau gue dapet hadia mobil dan uang
jutaan rupiah.
Paginya gue bangun,
mencoba membuka mata dan bangkit sekuat tenaga dari tempat tidur. Hal yang
pertama gue lakukan adalah mengecek ponsel gue, dan heii, ada sebuah sms
disana, gue buka dan tadaaa, itu sms dari Nadya, katanya “Maaf ya sayang,
kemarin nggak jadi pergi, kemarin aku diajak mama ke rumah saudara yang
dipedalamannya pedalaman ituloh, kamu tahu kan disana nggak ada sinyal.” Gue
langsung semangat bacanya, nggak ada sinyal, kenapa alasan itu nggak terpikir
diotak gue kemarin ya, sudahlah, yang jelas pagi itu cukup indah buat gue.
Gue berangkat ke
sekolah seperti biasanya tapi dengan perasaan yang lebih lega dari biasanya,
tiga puluh menit perjalanan dari rumah, dan gue sampai ke tempat gue menuntut
ilmu. Langsung jalan ke gerbang, masuk ke kelas, dan langsung duduk di bangku
keramat gue dengan ngebayangin segala
pikiran bodoh yang merasuki otak gue kamarin. Dan tiba-tiba brraaakkk !!
seseorang mukul meja gue, memecah lamunan gue, dan dia berkata “Wooiii manusia,
ngapain lo senyum-senyum sendiri.”
“Sialan lo Bim,
ngganggu gue aja.” Kata gue. Dia Bima, sahabat gue.
“Hahaha, lagian lo
ngapain pagi-pagi udah ngelamun, dasar sarap.”
“Ya suka-suka gue lah,
lo itu yang ngapain pagi-pagi udah ngeganggu gue.”
“Gue cuma pengen bilang
sesuatu Fer, boleh nggak?”
“Bilang aja, apaan
sih?” Tanya gue penasaran.
“Sesuatu.” Jawab dia
singkat.
“hah? Apaan sih, cepet
bilang.” Kata gue makin nggak sabar.
“Ya itu, gue kan bilang
kalo gue mau ngomong sesuatu, dan gue udah bilang sesuatu.”
“Sialan.”
“Hahaha, eh kali ini
serius, lo udah putus ama Nadya?”
Gue sempet terkejut
waktu Bima ngelontarin pertanyaan itu, secara dia tahu banget gimana perasaan
gue ke Nadya, jadi putus adalah sesuatu yang nggak akan mungkin gue biarin
terjadi dihubungan gue, “maksud lo Bim?”
“Sebelumnya sori nih, kemarin waktu gue jalan di mall, gue
ngeliat dia sama,”
“Ibunya? Ya dia kemarin
bilang kalo dia pergi nemenin ibunya dan disana nggak ada sinyal buat
ngehubungin gue.” Kata gue memotong
ucapan Bima.
“Dia bilang gitu? Oke
gue punya dua pertanyaan, pertama, apa lo pernah nggak dapet sinyal di mall
yang letaknya ditengah kota? Yang kedua, emang ibunya Nadya itu cowok ya?”
“Ya kecil kemungkinan
lah buat keduanya itu,”
“Nah itu, dan gue yakin
banget itu bukan ibu, ayah, saudara, apalagi kakeknya, apa mungkin kali Nadya
itu,”
“Selingkuh maksud lo?”
lagi-lagi gue potong ucapan Bima. “Nggak mungkin.”
“Bisa aja kan Fer, lo
sering bilang kalo sikap dia sedikit berubah, dia juga udah nggak kayak pertama
kalian pacaran kan? Dan lo udah sering banget mati gaya kalo sama dia, lo juga
bilang kalo dia seperti bosen dengan hubungan kalian selama ini, dan coba
pikir, berapa kali lo nyoba senengin dia, ngasih semuanya yang dia minta, ngorbanin
waktu lo buat dia, coba lo piker baik-baik Fer.”
Brakk!! Gue pukul keras
meja gue, perkataan Bima langsing terhenti, suasana pagi gue yang indah cukup
menjadi berantakan, anak-anak yang ada di kelas juga udah mulai merhatiin kami.
“Stop Bim, lo emang sahabat gue, tapi gue nggak ragu ngehajar lo kalo lo masih
terusin omongan lo itu.” Ancam gue ke Bima sambil langsung berjalan keluar
kelas.
Hari itu disekolah udah
cukup buruk banget buat gue, sampai di rumah gue langsung rebahan di tempat
tidur. Sejenak gue kepikiran omongan gue ke Bima, gue nggak seharusnya ngomong
sekasar itu, dia sahabat gue, dia bilang gitu juga karena dia peduli sama gue,
ah bodoh banget gue, gue harus minta maaf ke Bima, ya gue harus minta maaf ke
dia. Kemudian gue bangkit dan mengambil ponsel gue, tiba-tiba ponsel gue
berdering, telepon masuk, dari Bima! Gila, kok bisa pas gini ya, kayak
sinetron-sinetron deh.
Gue langsung angkat dan
bilang “Halo Bim, eh Bim gue mau,”
Belum selesai gue
ngomong, Bima udah motong ucapan gue “Iya, gue udah maafin lo, sekarang lo
kesini cepat, gue tunggu di mall biasanya.”
“Gila, lo uda kayak
dukun aja Bim bisa tahu apa yang mau gue omongin.”
“Kita kan udah kenal
lama, udah lo cepet kesini.”
“Siap bos!” Kata gue. Telepon
ditutup, gue ganti pakaian, dan langsung bergegas pergi menemui Bima.
Setelah beberapa lama
menikmati suasana siang yang panas dan juga macet, akhirnya perjalanan panjang
penuh penderitaan ini berakhir. Gue sampai di mall, markir motor gue dan langsung
bergegas menemui Bima.
“Halo kawan.” Sapa gue
pas ngeliat Bima, “Ada apa gerangan?”
“Lo ikut gue sekarang.”
Bima ngajak gue kearah food court , wajahnya tampak serius. Dan setelah sampai
dia nunjuk ke sebuah arah “Lo lihat siapa yang ada disana.”
Gue melihat ke arah
yang ditunjuk Bima, “Setelah ngelihat itu, apa yang lo rasain sekarang?”
“Laper Bim.” Jawab gue
singkat.
“Laper? lo ngelihat
apaan sih?”
“Ehmm, ayam goreng,
nasi goreng, bakso, bakmi, oh disana ada es campur, kayaknya seger deh, ah ada
yang makan pecel juga, kelihatan enak dan gue juga belum makan ini, sumpah gue
laper Bim, ayo makan ” Pinta gue memelas.
“Eh bego, gue ngajak lo
kesini bukan buat ngelihat makanan, tapi lo lihat siapa yang lagi makan disana,
lihat baik-baik.” Kata Bima dengan memegang kepala gue dan mengarahkan kearah
yang dia mau, “Siapa yang lo lihat?”
“Oh itu, itu kan Nadya
sama Reza.” Jawab gue. Hah? Nadya? Nadya sama Reza, ngapain mereka disini, mana
keliahatan mesra banget lagi. “Bim, gue nggak salah lihat kan? Ini cuma fatamorgana
kan?”
“Mata lo tuh masih
normal, gue juga ngelihat, lagipula, ini mall Fer, bukan padang pasir.”
“Jadi? Apa mereka itu…..”
“Nadya selingkuh Fer.”
“Lo udah tahu lama?”
“Sebenernya udah, tapi
gue nggak tega mau bilang sama lo, gue tahu gimana sayangnya lo sama Nadya, dan
gue juga tahu, seperti tadi siang, lo nggak akan percaya kalau nggak ngelihat
langsung. Tapi ini juga demi lo Fer, lo harus tahu buat siapa cinta yang lo
punya itu lo berikan.”
“Kenapa disaat gue
kelaperan harus ada adegan kayak gini sih, lo beneran yakin mereka pacaran?”
Tanya gue memastikan.
“Banget, gue udah lama
merhatiin mereka, gue nggak akan ngomong ke lo kalo nggak ada dasarnya Fer, dan
sekarang lo lihat di depan mata lo, kalo nggak pacaran terus apa?”
“Main pacar-pacaran mungkin.”
“Udah deh, sebelum otak
lo makin ngawur, hubungi Nadya sekarang!”
Gue ngeluarin ponsel
dan langsung sms Nadya, “Sayang, kamu dimana? Ayo makan siang bareng.” Dan
pesan gue terkirim. Nggak lama gue ngelihat Nadya memasukkan tangannya ke saku
celana, mengambil ponselnya, dan sepertinya melihat sms yang gue kirim, dia
kemudian seperti mengetik sesuatu dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam
tas. Ponsel gue bergetar, gue buka sms yang udah pasti dari Nadya, setelah gue
buka, gue baca “Kepada pelanggan Yth…..” tunggu dulu, ini bukan Nadya, ini dari
operator, kenapa disaat seperti ini operator masih ganggu aja sih. Ponsel gue
bergetar lagi, ini pasti Nadya, gue buka pesannya “Maaf sayang, aku lagi nggak
enak badan ini, udah dulu yaa aku mau istirahat.” Setelah gue baca, gue bales
dengan “okee, get well soon ya sayang
:’)”
Kenapa kamu bohong sih
sayang? Gimana kamu bisa bilang nggak enak badan? Apa kamu tahu kalo aku
ngelihat kamu dari disini? Aku ada disini sayang, aku ngelihat kamu duduk
berdua terlihat mesra, saling menyuapi, bercanda dengan dia, temanku. Dimananya yang sakit,
bilang sayang, bilang. Dan lo Rez, lo itu temen gue, kalo lo emang suka Nadya,
kenapa nggak bilang terus terang dari sebelum gue jadian? Kenapa harus kayak
gini Rez? Apa bener kata orang, teman adalah musuh yang belum menyerang, dan
sekarang lo nyerang gue. Gue cuma bisa ngutarain itu semua dihati gue, semuanya
tertahan dimulut gue.
Lo tahu gimana perasaan
gue? Lo tahu? Gue ngerasa remuk, gue ngerasa kayak ada yang nusuk gue, padahal
gue belum pernah tahu rasanya ditusuk itu gimana, itu seperti lo terbang pakai
pesawat yang super aman tapi ditengah jalan pesawat itu tiba-tiba jatuh,
walaupun gue sendiri nggak pernah naik pesawat. Tapi serius, ini sakit.
“Fer, lo nggak apa-apa?
Lo nangis Fer?” Kata Bima dengan nepuk pundak gue.
“Nggak, tadi ada lalat
masuk mata gue! Lo tunggu disini Bim, gue mau hajar Reza!” Jawab gue kesel.
Rasa sakit yang gue rasain mendorong emosi gue keluar, gue pingin ngelampiasin
ini, gue pengen mereka juga rasain sakit gue.
“Hei, tunggu, lo nggak
bisa ngelampiasin ini semua dengan amarah lo Fer, lo udah kacau hari ini,
jangan lo bikin tambah kacau lagi.”
“Tapi Bim, lo nggak
tahu rasanya gue, sakit Bim, hati serasa pingin njerit. Lo yang paling tahu
gimana cinta gue ke dia, lo juga tahu seberapa besar gue berharap ke dia, dan
ini semua, lo tau lo tau, aaaaahh sialann!!!” gue mulai ngomong nggak
beraturan, otak dan tindakan gue nggak sejalan.
“Gue tahu Fer.”
“Lo tahu? Emang lo
pernah pacaran?”
“Nggak pernah.”
“Kalo gitu lo nggak
akan pernah tahu rasanya patah hati!”
“Gue emang nggak tahu
rasanya patah hati, tapi gue tahu gimana kalo sahabat gue lagi susah, gimana
kalo dia sedang butuh gue, dan gue tahu, sekarang lo butuh gue banget. udah,
tarik nafas, tenangin diri lo dulu.
Gue jalanin saran Bima,
gue tarik nafas berkali-kali, nyoba meredam segala perasaan campur aduk yang
gue rasain ini, dan setelah semuanya mulai tenang buat gue, Bima kembali bicara, “Udah Fer,
sekarang setelah amarah lo tenang, apa yang mau lo lakuin?”
“Tetep mencintai dia
dan menganggap ini nggak pernah terjadi.” Jawab gue kalem.
“Apa? Lo bodoh banget
Fer, dia udah jelas-jelas nggak nganggep lo, ngapain lo pertahanin dia,
tinggalin Fer, lo jangan makin nyakitin perasaan lo sendiri.”
“Gue tahu, Lo tahu Bim,
minggu depan gue dan dia tepat satu tahun, lo tahu kan betapa gue mertahanin
hubungan ini, mertahanin dia selama ini, gue nggak mau semua itu berakhir
sia-sia Bim. Gue pernah bilang kan kalo kebahagiaan dia itu nomor satu buat gue,
ya kalo ini juga membuat dia bahagia, biarin aja lah, toh gue nggak berkorban
apa-apa selain perasaan gue, yang penting gue masih bisa ngelihat senyuman
diwajahnya dan gue tahu kalo dia itu masih milik gue, meskipun sekarang bukan
cuma gue sendiri.”
“Lo gila Fer, lo
bener-bener gila!”
“Enggak Bim, gue nggak
gila, gue cuma terlanjur jatuh cinta.”
“Oke, ayo pulang
sekarang, gue anterin lo, gue takut lo nabrakin diri ke becak gara-gara masalah
ini, kasian tukang becaknya yang nggak tahu apa-apa.”
“Nggak Bim, gue masih
pengen disini.”
“Ngapain? Lo mau
ngelihatin mereka mesra-mesraan terus?”
“Nggak, gue pingin
makan, kan udah gue bilang gue laper, mumpung di food court ini.” Jawab gue
dengan sedikit senyuman diwajah gue. Gue nyoba ngehibur diri gue sendiri, dan Bima
bantu gue, nemenin gue, nemenin sahabat terbodohnya yang udah ngebentak dia
dihadapan anak-anak sekelas, nemenin gue yang serasa jadi cowok paling lemah
yang dengan gampangnya nerima ini semua gitu aja. Dan disinilah gue nggak bisa
bedain, gue emang cinta atau terlalu bodoh.
Sedikit demi sedikit
gue ngelupain kejadian itu, gue berusaha ngebalikin perasaannya lagi,
ngebalikin semua rasa yang sempet hilang, gue udah kayak dokter yang selalu
merhatiin kesehatan dia, ngingetin dia buat jaga kesehatan, pola makan, dan
lain-lainnya, udah kayak pelawak yang selalu nyoba bikin lelucon buat bikin dia
ketawa, udah kayak pesulap yang selalu bikin kejutan-kejutan hingga siapapun
yang lihat pertunjukannya cuma bisa diam dan kagum, udah kayak santa claus yang
selalu ngasih-ngasih hadiah buat dia, bahakan gue kadang mirip dukun, yang
tanpa dia bilangpun gue udah tahu apa yang dia rasain. Untuk sejenak ketika gue
berhenti jadi itu semua, gue kepikiran, sebenernya gue ini siapa? Ya, ironisnya
gue nggak inget jati diri gue lagi.
Besok, besok adalah
hari itu, tepat satu tahun hubungan kami, sampai saat ini gue masih belum
ngelihat kemajuan dari usaha gue, gue nggak tahu kenapa gue masih mau nerusin
ini semua, gue tahu ini percuma, tapi gue nggak bisa berhenti, gue nggak bisa
berhenti buat mencintai dia. Dan besok, gue udah siapin kejutan buat dia besok,
gue mau ini benar-benar spesial.
Gue ditemenin Bima
dateng kerumah Nadya, disana gue minta tolong pengamen buat nyanyiin lagu
Sheila On7-Anugrah Terindah yang Kumiliki. Gue minta lagu itu dimainin setelah
gue bilang Happy Anniversary ke dia
dengan nyerahin bunga melati putih kesukaan dia, masih lengkap dengan potnya
juga, yang pastinya bakal bisa terus hidup tanpa takut layu seperti bunga-bunga
potong itu.
Dan semuanya dimulai,
gue masuk ke halaman rumahnya dengan Bima dibelakang gue, menuju ke pintunya
yang terlihat terbuka, gue masuk dan bilang “Hap…” hanya itu. Kata selanjutnya tertahan dimulut gue. Didepan
gue, gue ngelihat Nadya dan Reza, mereka pegangan tangan sama seperti waktu
itu, hanya bedanya, kali ini gue nggak bisa ngehindar atau berpura-pura nggak
ngelihat seperti waktu itu. Mereka berdua langsung ngelihat kearah gue. Tangan
gue bergetar, pot bunga yang gue bawa jatuh dan pecah. Gue salah, sepertinya
melati ini akan sama dengan melati potong, dia kan layu dengan cepat, malah
lebih cepat.
Nadya menghampiri gue,
“Eh, ehm, ada apa Fer?”
“Ada apa Nad? Kamu
tanya ada apa? Hari ini tepat satu tahun kita jadian, tadinya aku bikin kejutan
buat kamu, tapi gagal, kejutan dari kamu lebih besar, kenapa Nad?” Gue nggak
bisa ngelak, gue nggak bisa pura-pura lagi, mungkin emang ini yang harus
terjadi.
“Kenapa apanya?”
“Apanya? Kenapa kamu
selingkuh? Kenapa kamu tega ngelakuin ini? Aku kurang apa buat kamu?”
“Justru itu, kamu
terlalu baik, kamu jadi ngebosenin, gampang ditebak. Udah yah, aku nggak mau
makin nyakitin kamu, kita putus aja”
Apa cowok baik itu
salah? Apa terlalu baik itu kesalahan fatal? Entahlah, sekali lagi, ini sakit,
dan ini gue denger dari dia! Iya dia, dia yang dengan senyumannya aja udah
bikin gue seneng, dia yang menjadi semangat gue selama ini, dia yang gue
berharap bisa terus sama gue, dan dia yang tidak ada seorangpun yang gue mau
selain dia.
“Oh iya, Happy anniversary juga ya, semoga kamu
bisa dapet yang lebih baik dari aku.” Sambung Nadya.
Dan disaat dia
mengucapkan itu, pengamen yang gue mintai tolong tadi langsung muncul dan
bernyanyi, “Melihat tawamu….Mendengar
seandungmu…….Terlihat jelas dimataku warna-warna indahmu….” Dengan merdu
dan penuh semangat. Bener-bener beda banget dengan rencana gue dan perasaan
gue.
“Eh eh apa ini Fer?”
Tanya Nadya kaget pertunjukan yang ada didepannya.
“Cuma bagian dari
rencanaku yang gagal, kasih aja lima ratus perak ntar juga berhenti.” Jawab
gue. Dan disaat itu kemudian gue ngelihat Reza, gue terus nglihat dia, amarah
gue kembali memuncak. Reza ngelihat gue sebentar kemudian memalingkan
pandangannya ke arah lain, gue udah bener-bener nggak tahan, gue mau nerobos
masuk saat tiba-tiba ada yang nahan pundak gue. “Udah Fer, lo udah cukup sakit
hati, jangan ditambahi, udah akhirin aja, lepasin aja cewek nggak tahu diuntung
kayak dia.” Kata Bima. Lagi-lagi dia nahan gue.
Bima narik gue keluar
dengan berjalan kemudian dia berbalik dan melihat kea rah Nadya dan Reza yang
ada di depan pintu dan berkata, “Semoga kalian bahagia.”
“Udah lah Fer, lo
lelaki nggak mungkin menerimanya bila, dan ternyata dia mendua, membuat lo
terluka, tinggalkan saja dirinya, lo tak mungkin menunggu, jangan minta
dipilih, lo itu bukan pilihan.” Kata Bima.
“Makasih Bim, tapi
hanya perasaan gue atau itu emang kayak lagunya Iwan Fals? Dan juga, lo udah
banyak bantu gue kali ini, kita juga makin deket, apa mungkin kita,”
“Apaan? Pacaran? Dasar
homo!” Kata Bima meneruskan ucapan gue yang terhenti.
“Ya kali aja ternyata
lo suka cowok, dan lo kan belum pernah pacaran.”
“Eh Fer, sekalipun di dunia
ini cuma tinggal kita manusia terakhir, gue bakal ajak lo ke tepi jurang dan
dorong lo tanpa ragu, gue mending sendiri daripada akhirya harus pacaran sama
lo, udah lo pulang sendiri, gue jadi ngeri mau nganter lo.” Kata Bima dengan
langsung meninggalkan gue.
“Hahaha, tunggu Bim,
gue cuma bercanda.” Dengan gue langsung ngejar Bima.
Dan disaat seperti
inilah gue bener-bener ngerti arti persahabatan, dan disaat seperti inilah gue
bersyukur masih punya sahabat yang setia nemenin gue, dan disinilah gue tahu, mungkin
ketika lo jatuh cinta sahabat lo seakan bukan siapa-siapa, tapi ketika lo patah
hati, dia bisa jauh lebih berarti daripada cinta yang selama ini lo banggain.
Satu minggu, dua
minggu, sekarang hampir satu bulan dari hari itu, hari dimana semua dimulai dan
berakhir. Gue udah sedikit bisa ngelepas dia, memalingkan semua perhatian gue,
tapi tetep aja rasa cinta nggak bisa hilang gitu aja, perasaan ini tetap ada,
hati ini tetap berharap, berharap dia tiba-tiba dating meminta maaf dan
berharap gue mau bersamanya lagi. Gue selalu nggak bisa menghindari untuk
menoleh kerumahnya setiap kali gue lewat didepannya, gue tiba-tiba terdiam dan
teringat dia ketika lagu yang menggambarkan dia terdengar ditelinga gue,
sekeras apapun gue ngehindar atau benci dia, tetep aja rasa cinta dating dan
menghilangkan itu semua. Lo pikir gue bodoh? Ya, gue memang bodoh, dan disaat
gue sadar akan kebodohan gue inilah gue berharap ada sesuatu, atau seseorang
yang dapat menghapuskan dia dari ingatan gue, dari hati gue, yang dapat
menghilangkan rasa yang menyakitkan ini.
Adakah yang bisa?
Comments
Post a Comment